SUMBER HUKUM PENGANGKUTAN

By 3.3.16

Sumber Hukum Pengangkutan

Secara umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atautempat mengenali hukum. Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material(amaterial sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law).

Sumber hukum materil adalah sumber dari mana diperoleh bahan hukum dan bukankekuatan berlakunya, dalam hal ini keputusan resmi dari hakim/pengadilan yang memberikan kekuatan berlakunya, sedangkan sumber hukum formal adalah sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber hukum formal adalah kehendak negara sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau putusan-putusan pengadilan. Sumber hukum yang telah dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, berdasarkan apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum. Itulah sumber-sumber hukum dalam arti formal, atau dapat juga disebut sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa efficiens.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-UndangHukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut:
a)  Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98 TentangPengangkutan darat Dan Pengangkutan Perairan Darat;
b)  Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 Tentang Pencarteran Kapal, Buku IIBab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 Tentang Pengangkutan Barang, dan Buku IIBab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan Orang;
c)  Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan ParaEkspeditur sebagai Pengusaha Perantara;
d)  Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai Kapal-Kapal yang melaluiperairan darat.

Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUH Dagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu antara lain 54:
a)      Konvensi-konvensi internasional;
b)      Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral;
c)      Peraturan perundang-undangan nasional;
d)     Yurisprudensi;
e)      Perjanjian-perjanjian antara:
1.      Pemerintah-Perusahaan Angkutan
2.      Perusahaan Angkutan- Perusahaan Angkutan
3.      Perusahaan Angkutan- pribadi/swasta

Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut,yaitu diatur di dalam:

A.    Pengangkutan Darat, diatur di dalam:
1.    Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang surat angkutan dan tentang peggangkut  dan juragan perahu melalui sungai dan perairan darat
2.      Ketentuan di luar KUH Dagang/ KUH Perdata, terdapat di dalam:
a)      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Pos
b)      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian
c)  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalansebagaimana telah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

B.     Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1. KUH Dagang yaitu pada:
a)      Buku II Bab V Tentang perjanjian carter kapal
b)      Buku II Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan barang-barang
c)      Buku II Bab V B Tentang Pengangkutan Orang.
2. Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
a)      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
b)      Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
c)      Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang kepelabuhan
d)   Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 Tentang  Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.

C.     Pengangkutan udara; ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
a)      Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
a)      Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang tanggung jawab pengangkut udara
b)      Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara.


Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional,(Konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:

a)      Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929.
Konversi Warsawa ini nama lengkapnya adalah “Convention for The Unification ofThe Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air”, ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.
Konvensi ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara (chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara.

b)      Konvensi Geneva.                                    
Konvensi Geneva ini mengatur tentang “International Recognition of Right inAircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapatdiakui secara internasional oleh negara-negara pesertanya.

c)      Konvensi Roma 1952
Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention on Damage Caused by ForeignAircraft to Third Parties on the Surface”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operatorpesawat terbang asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya.

d)     Protokol Hague 1955
Nama lengkap dari protokol Hague adalah Protokol to Amend the Convention for theUnification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12Oktober 1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955.
Protocol Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara.

e)      Konvensi Guadalajara 1961
Nama lengkap daripada Konvensi Guadalajara 1961 adalah “ConventionSupplementary to The Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating toInternational Carriage by Air Performed by a person other than the Contracting Carrier. Konvensi Guadalajara ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan muali berlakusejak tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara pesertanya. Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen atas Konvensi Warsawa, suplemen tersebut mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara terhadap pihak-pihak tidak tersangkut dalam mengadakan perjanjian pengangkutan udara, karena dalam praktek sering terjadi pengangkut yang sebenarnya bukanlah pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Hingga dengan demikian dalam konvensi dikenal adanya istilah actual carrier dan contracting carrier.

f)       Protokol Guatemala
Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi.
Dalam Protocol Guatemala ini ditentukan :
a.       Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi digunakan sistem tanggung jawab yang prinsip “absolute liability dengan prinsip limitation of liability” dan untuklimit ganti ruginya ditetapkan sebesar 1.500.000,- Gold Franc.
b.      Tanggung jawab terhadap muatan digunakan kombinasi prinsip Presumption of Liabilitydengan Limitation of Liability.
c.       Tanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan kelambatan terhadap penumpang, bagasi dan barang digunakan kombinasi prinsip “presumption on non liability denganlimitation of liability”.
Dalam Protocol Guatemala ini, Indonesia ikut serta mengirimkan delegasinya tetapi tidak ikut menandatanganinya, karena delegasi Indonesia beranggapan bahwa limit tanggung jawab yang ditentukan oleh Protokol Hague ini terlalu tinge.





You Might Also Like

0 comments