PERTANGGUNG JAWABAN PENGANGKUTAN MENURUT UU

By 17.3.16


Identifikasi Pertanggungjawaban Pengangkutan Menurut UU


Dalam kegiatan pengangkutan terdapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penyedia jasa dan pihak pengguna jasa atau konsumen. Para pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya suatu perjanjian yang merupakan manisfestasi dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan maka di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi, yang biasa dikenal dengan istilah “prestasi”

Dalam Undang-undang sudah diatur tentang Pertanggungjawaban Pengangkutan, antara lain;

  1. I. Pelayaran

Undang - Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran 

Pasal 40

  1. (1). Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
  2. (2). Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Pasal 41

  1. (1). Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
  1. a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
  2. b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
  3. c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
  4. d. kerugian pihak ketiga.
  1. (2). Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
  2. (3). Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 42:

  1. (1). Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia. 
  2. (2). Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan. 

Penjelasan: Perusaaan angkutan bertanggung jawab atas kematian dan lukanya penumpang, hilangnya barang yang diangkut,keterlambatan angkutan dan barang yang diangkut. Perusahaan angkutan wajib memberikan fasilitas gratis kepada penumpang yang cacat,hamil,anak balita, orang sakit dan lanjut usia. 


  1. II. Perkeretaapian

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian

Pasal 131

  1. (1). Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia
  2. (2). Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 132

  1. (1). Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis.
  2. (2). Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
  3. (3). Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.

Pasal 133

  1. (1). Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib:
  1. a. mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
  2. b. mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
  3. c. menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
  4. d. mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada masyarakat; dan
  5. e. mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.
  1. (2). Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengumumkan kepada pengguna jasa apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas.

Pasal 134

  1. (1). Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis.
  2. (2). Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan sampai dengan batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, orang tersebut tidak mendapat penggantian biaya karcis.
  3. (3). Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari harga karcis.
  4. (4). Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib:
  1. a. menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan; atau
  2. b. memberikan ganti kerugian senilai harga karcis.

Pasal 141

  1. (1). Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
  2. (2). Pengguna jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
  3. (3). Surat angkutan barang merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang.

Pasal 142

  1. (1). Dalam kegiatan pengangkutan barang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang untuk:
  1. a. memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
  2. b. menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat angkutan barang; dan
  3. c. melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang akan diangkut merupakan barang terlarang.
  1. (2). Apabila terdapat barang yang diangkut dianggap membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat membatalkan perjalanan kereta api.

Pasal 143

  1. (1). Pengguna jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat angkutan barang.
  2. (2). Semua biaya yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan tanggung jawab pengguna jasa.

Penjelasan: Penyelenggara kereta api wajib memberikan fasilitas terhadap wanita hamil,anak balita, lanjut usia dan orang sakit. Peumpang yang memiliki karci dapat masuk kereta api, bagi yang tidak memiliki karcis penumpang tidak bisa menaiki kereta api tersebut. Penyelenggara kereta api dituntut agar tepat waktu, apabila terdapat keterlambatan penyelenggara kereta api wajib mengungumkannya pada penumpang. Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis, apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari harga karcis. Penyelenggara perkeretaapia melarang membawa benda/barang berbahaya maka perjalan akan diberhentikan.

  1. III. Penerbangan

Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Undang - Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang & Pengirim Kargo.

Pasal 141

  1. (1). Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yangdiakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara
  2. (2). Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Pasal 142

  1. (1). Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara. Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.

Pasal 143

Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

Pasal 144

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.



Pasal 145

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut

Pasal 146

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Pasal 147

  1. (1). Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
  1. a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
  2. b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

Pasal 148

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
  1. a. angkutan pos;
  2. b. angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan
  3. c. angkutan udara bukan niaga.

Penjelasan: pengangkut bertanggung jawab atas kerugian terhadap penumpang yang cacat maupun yang menyebabkan kematian. Ahli waris penumpang dapat menuntut ganti rugi terhadap pengangkut. Pengangkut bertanggung jawab atas keterlambatan angkutan penumpang, bagasi dan kargo. Penumpang dapat dialihkan ke pesawat lain atau pihak pengangkut memberikan konsumsi,akomodasi dan biaya transportasi. Pengangkut bertanggung jawab atas rusaknya barang dalam kabin akibat kegiatan angkutan udara tersebut.






  1. IV. Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Lalu Lintas Dan Jalan Raya

Pasal 234

  1. (1). Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.
  2. (2). Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
  3. (3). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:
  1. a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
  2. b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
  3. c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Pasal 235

  1. (1). Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
  2. (2). Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Pasal 236

  1. (1). Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
  2. (2). Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Pasal 238

  1. (1). Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
  2. (2). Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 239

  1. (1). Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  2. (2). Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 240

Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:
  1. a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
  2. b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan
  3. c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi. Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. 


Penjelasan: Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan atau pemilik barang dan atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi seperti ugal - uagalan dijalan raya dan wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Para pengguna kendaraan seperti mobil, motor dan angkutan umum harus selalu berhati - hati dalam menyetir agar tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain ketika mengemudi hendaklah dalam kondisi yang sehat tidak dibawah pengaruh alkohol, mengantuk dan obat - obatan terlarang. Keadaan indonesia yang rawan akan kemacetan dan pengguna jalan yang padat angka kecelakaan di jalan raya semakin bertambah.


  1. V. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut

Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
  1. 1. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)
  2. 2. Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
  3. 3. Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
  4. 4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)
  5. 5. Presumtion of Non Liability

  1. A. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
   
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab6 atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.

Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.7 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.

Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan:

Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.” 

  1. B. Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)

Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.

Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. 

Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.

  1. C. Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)

Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.

Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.


  1. D. Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)

Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.

Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.

Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru.

(2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

 “jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”.

Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.

Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
  1. 1. Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
  2. 2. Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
  3. 3. Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.

Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. 

Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.

Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.

Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD.11 Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.

Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.

Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 – 147. 

Pasal 141

  1. (1). Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict Liability) , dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut.

Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila: 
  1. 1. Ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian;
  2. 2. Ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
  3. 3. Kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;
  4. 4. Kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu

Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.

  1. E. Presumtion of non Liability 

Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan dalam :
  1. 1. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan 
  2. 2. pasal 86 UU pelayaran 




You Might Also Like

0 comments