GADAI SYARIAH
HUKUM JAMINAN
GADAI SYARIAH
I.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA GADAI SYARIAH
Pegadaian
dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan belanda. Pengenalan
di Indonesia pada awal masuknya kolonial belanda, yaitu sekitar akhir abad XIX,
oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut memberi jasa
pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada
hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian.
Lahirnya
pegadaian syariah sebenarnya berawal dari hadirnya fatwa MUI tanggal 16
Desember 2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat terbitnya PP No. 10
tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh pegadaian syariah
adalah untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak berubah hingga
diterbitkannya PP No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan
usaha Perum pegadaian hingga sekarang.
Pegadaian
syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah
(ULGS). Konsep operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi
modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektifitas yang diselaraskan
dengan nilai islam. ULGS merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural
terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.
II.
DASAR HUKUM GADAI SYARIAH
1.
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk
membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan
tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai
2.
Hadist Rasul
Dasar
hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi
Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang
diutang dengan jaminan berupa baju besinya.
Diriwayatkan
oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata :
“ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari
orang Yahudi dan beliau meggadaikan kepadanya baju besi beliau “.
3.
Ijtihad ulama
Perjanjian
gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu dalam pengembangan
selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan
para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan
kebolehannya. Demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian, perlu
dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian
menurut landasan hukumnya.
4.
Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002
Di
samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang
menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam
bentuk rahn diperbolehkan.
III.
PENGERTIAN GADAI SYARIAH
Menurut
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang
diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang
mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
Seseorang yang berpiutang tersebut memberikan kekuasaan yang telah diserahkan
untuk melunasi utang apabila pihak yang berpiutang tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada saat jatuh tempo.
Gadai
dalam fiqh diebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan.
Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh
pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat actual
(berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misalnya
berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta
jaminan. Menurut mahab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan
tersebut tidak termasuk manfaatnya.
Istilah
rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan
atas suatu manfaat barang yang diagunkan.
Dari
kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi
mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti
akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya.
Dalam
bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat
Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan
rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu
utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.”
Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata
untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.
Adapun
pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu
benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari
harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang
berpiutang.
IV.
OBJEK GADAI SYARIAH
Barang
nasabah yang ingin memperoleh fasilitas pinjaman dari penggadaiaan syariah,
maka hal yang paling penting diketahui adalah masalah barang yang dapat
dijadikan jaminan di penggadaiaan syariah.
Adapun
jenis-jenis barang berharga yang dapat diterima dan dijadikan jaminan
penggadaian syariah adalah sebagai berikut:
- Barang-barang atau benda perhiasaan, antara lain: emas, perak, intan, berlian, mutiara, platina dan jam.
- Barang-barang berupa kendaraan seperti mobil ( termasuk bajaj dan bemo ), sepeda motor dan sepeda biasa ( termasuk becak ).
- Barang-barang elektronik, antara lain: televisi, radio, radio tape, vidio, komputer, kulkas, tustel, dan mesin tik.
- Mesin-mesin seperti mesin jahit dan mesin kapal motor.
- Barang-barang keperluan rumah tangga seperti: Barang tekstil, berupa pakaian, permadani atau kain batik, Barang pecah belah dengan catatan bahwa semua barang yang dijaminkan harus dalam kondisi baik dalam arti masih dapat digunakan dan bernilai.
Keberadaan
barang gadai selain karena alasan syariah, juga dikarenakan alasan keterbatasan
tempat penyimpanan barang jaminan, kesulitan dalam menaksirkan barang jaminan,
jenis barang jaminan mudah rusak dan jenis barang jaminan berbahaya.
Barang-barang jaminan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Barang-barang yang berukuran besar, seperti pesawat terbang, kereta api, satelit, tank dan sebagainya.
- Barang-barang yang berbahaya, seperti bahan peledak ( bom atau granat ), senjata api, dan sebagainya.
- Barang-barang yang sulit dalam penyimpanannya dan pemeliharaannya, seperti tanaman, hewan, dan sebagainya.
Dalam
menggadaikan barang di pegadaian syariah harus memenuhi ketentuan – ketentuan
sebagai berikut :
- Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan. Artinya barang yang digadaikan diakui oleh asyarakat memiliki nilai yang bisa dijadikan jaminan.
- Tidak sah menggadaikan barang rampasan atau barang yang pinjam dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.
- gadai itu tidak sah apabila utangnya belum pasti.
- Disyaratkan pula agar utang piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua belah pika.
- Menerima barang gadai oleh pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai atas tetapnya gadaian. Karena itu, gadai belum ditetapkan selama barang yang digadaikan itu belum diterima oleh pegadaian.
- Seandainya ada orang menggadaikan barang namun barang tersebut belum diterima oleh pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.
- Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka gadai tersebut telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik cembalo.
- Penarikan kembali atau pembatalan akad gadai itu biasanya dilakukan dengan ucapan dan tindakan. Jika pegadaian menggunakan barang gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status kepemilikan, maka batallah akad gadai itu.
- Jika akhir masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya tidak termasuk pembatalan.
- Jika masa membayar utang pada gadai lebih awal dari pada masa sewa ( masa sewanya lebih lama dari pada masa gadai ) , maka tidaklah termasuk pembatalan gadai dan memperbolehkan penjualan barang yang digadaikan.
- Barang gadaian adalah amanat di tangan penerima gadai, karena ia telah menerima barang itu dengan ijin nasabah. Maka status amanat barang gadai, seperti amanat berupa barang yang disewakan. Jadi, pegadaian tidak wajib menanggung kerusakan barang gadai, kecuali jika disengaja atau lengah.
- Jika barang gadaian tersebut musnah tanpa ada kesengajaan dari pihak pegadaian, pegadaian tidak wajib menanggung barang tersebut dan jumlah ppinjaman yang telah diterima oleh pegadai tidak boleh dipotong atau dibebaskan. Sebab, barang tersebut adalah amanat dari nasabah untuk mendapatkan pinjaman, maka pinjaman itu tidak boleh dibebasakan akibat musnahnya barang gadaian itu.
- Seandainya pegadaian mengaku bahwa barang gadai terssebut musnah, maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dengan disertai sumpah, sebab pegadaian tidak menjelaskan sebab – sebab musnahnya barang tersebut, atau ia menyebutnya tetapi tidak jelas.
- Seandainya pegadaian mengaku telah mengembalikan barang gadaian, pengakuan tidak dapat diterima kecuali disertai dengan bukti ( kesaksian ) sebab bukti bagi pegadaian itu tidak sulit, dan lagi barang yang di tangan pegadain itu untuk piutangnya sendiri, maka pengakuannya tidak dapat diterima kecuali disertai dengan bukti sama halnya dengan pengakuan peminjam.
- Jika pegadaian itu lengah atau merusak barang gadaian karena sengaja memanfaatkan barang yang dilarang untuk dipergunakan, maka pegadaian harus menggantinya.
V.
PARA PIHAK DALAM GADAI SYARIAH
Dalam
pegadaian syariah atau rahn terdapat beberapa istilah, orang yang
menyerahkan barang gadai disebut rahin, orang yang menerima barang gadai
disebut murtahin, dan barang yang digadaikan yaitu marhun.
- Ar – Rahin ( yang menggadaikan ) : Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
- Al – Murtahin ( yang menerima gadai ) : Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang ( gadai).
- Al – Marhun / barang : Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utan.
- Al – Marhun bih : Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
- Sighat, Ijab dan Qabul : Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
Hak
dan Kewajiban pihak Penerima Gadai :
1. Hak
Murtahin ( Penerima Gaddas )
- Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
- Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
- Selama pinjaman belun dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.
Kewajiban Penerima Gadai
- Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya barang gadainya yang diakibatkan oleh kelalaiannya.
- Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sender.
- Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
1.
Hak pemberi gadai :
- Pemberi gadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.
- Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dan kerusakan dan jika hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan akibat kelalaian gadai.
- Pemberi gadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
2. Kewajiban
pemberi gadai :
- Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya dalam waktu yang telah ditentukan.
- Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentuka pemberi gadai tidak dapat melunasinya
VI.
SAAT LAHIRNYA GADAI SYARIAH
Status
gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang pitang bersama dengan penyerahan
jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan
seharga tertentu untuk pembelian barang dan kredit. Status gadai sah setelah terjadinya
utang. Para ulama pun menilai hal ini sah karena utang tetap menuntut pengambilan
jaminan. Oleh karena itu, dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
VII.
SAAT HAPUSNYA GADAI SYARIAH
1.
Utang pokok hapus dengan suatu cara yang telah
dijanjikan
2.
Pemegang gadai melepaskan hak dengan sukarela
3.
Apabila barang gadai musnah
4.
Apabila pemegang gadai menjadi pemilik barang
gadai dengan secara sah
VIII.
PROSEDUR DALAM MENGGADAIKAN BARANG DALAM GADAI
SYARIAH
Sistem
implementasi pegadaian syariah hampir sama dengan pegadaian konvensional yaitu
pegadaian syariah menyalurkan uang pinjaman dengan barang jaminan barang
bergerak. Prosedurnya juga sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukan buku
identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan lalu uang pinjaman dapat
diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebihnya 15 menit).
Sedangkan untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang singkat.
Adapun
teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
- Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan dan kemudian pegadaian syariah menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam melaksanakan pembiayaan.
- Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai.
- Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya administrasi yang dibayar pada awal transaksi oleh nasabah, dan biaya ijarah atau biaya sewa tempat.
- Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo
1.
DOKUMEN YANG DISIAPKAN
Untuk
dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan
nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan
perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang
dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan
harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman
yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
2.
BARANG YANG AKAN DIGADAIKAN
Muhammad
Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang
dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dan tak
bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi
syarat:
(1)
Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
(2)
Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3)
Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
3.
PERJANJIAN UTANG PIUTANG YANG DIJAMINKAN DALAM
GADAI SYARIAH
Sesuai
dengan landasan tersebut, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan dengan
melalui akad – akad. Adapun akad – akad dalam pegadaian syariah adalah :
1.
Akad al – Qardul Hasan
Akad
ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk
keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah ( rahin ) akan
memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian ( murtahin ) yang
telah menjaga atau merawat barang gadaian ( marhun ).
2.
Akad al – Mudharabah
Akad
dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannnya untuk menambah modal
usaha ( pembiayaan investasi dan modal kerja ). Dengan demikian, rahin akan
memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan kepada murtahin sesuai
dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3.
Akad Ijarah
Akad
Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
IX.
PROSES EKSEKUSI GADAI SYARIAH
Penjualan marhun:
- Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya.
- Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa / dieksekusi.
- Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan, dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
- Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, penulis dapat membuat
suatu kesimpulan, yaitu :
- gadai (rahn) adalah salah satu bentuk muamalah sebagai realisasi saling membantu (taawun) agar tercipta kemaslahatan umat yang merupakan salah satu prinsip dari hukum Islam.
- Gadai (rahn) adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan/ jaminan dari suatu hutang untuk dipenuhi harganya, rahn sebagai jaminan bukan produk dan untuk kepentingan sosial maka tidak boleh dijadikan modal investasi karena pada dasarnya gadai ini bukan untuk kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra.
- Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
- Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
- Pegadaian syariah bertugas menyalurkan pembiayaan dalam bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai syariah yang setiap akadnya berusaha memenuhi syarat sah dan rukun yang telah ditetapkan oleh para fuqaha.
- Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
Perbedaan antara
gadai syariah dengan gadai konvensional adalah :
Persamaan
|
Perbedaan
|
1.
Hak gadai atas pinjaman uang.
2.
Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3.
Tidak boleh mengambil manfaat barang yang
digadaikan.
4.
Biaya barang yang digadaikan ditanggung para
pemberi gadai.
5.
Apabila batas waktu pinjaman uang habis,
barang yang digadaikan dijual atau dilelang.
|
1.
Rahn dalam islam dilakukan secara suka
rela atas dasar tolong – menolong tanpa mencari keuntungan sedangkan gadai
menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong – menolong juga menarik
keuntungan dengan cara menarik bungan atau sewa modal.
2.
Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku
pada benda yang bergerak sedangkan dalam hukum islam, rahn berlaku
pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.
Dalam rahn tidak asa istilah
bunga.
|
UNIVERSITAS NASIONAL
Mega Regina - 133112330050041
0 comments