HIPOTIK
I.
Latar
Belakang
Dalam
sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai jaminan yang melekat pada
seluruh benda tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya jaminan atas tanah
sebagai salah satu benda tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri
yaitu hak tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek
hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya
20m3
sebelumnya,
pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang disebutkan dengan
hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No.5 tahun 1960 adapun bunyi dari
Pasal UU No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai berikut:
Selama
Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk,
maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam
Staatsblad. 1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937
No.190.
Pasca
dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah
dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah, terdapat perubahan
mendasar dalam pengaturan hipotik.
Dalam
pasal 24 UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan ditetapkan ketentuan
sebagai berikut
Hak
tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang
menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan Pasal 57
UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok- pokok agraria diakui,
dan selanjutnya berlangsung sebagai Hak tanggungan menurut Undang-Undang ini
sampai dengan berakhirnya hak tersebut.
adapun
untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam Pasal 24 ayat 1 sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24
UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan Dengan tanah, pelaksanaan ekskusi dan pencoretan dapat
menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20 dan pasal 22 UU No. 4 Tahun
1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, setelah buku tanah dan sertipikat hak tanggungan yang
bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 UU
No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah.
Perihal
dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut UU No. 4 tahun 1996
dapat diperoleh dari Pasal 26 undang-undang ini yang berbunyi sebagai berikut
Selama
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada
mulai berlakunya Undang-Undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak tanggungan.
Dengan demikian, berarti
kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan
penyesuaian sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun
1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan tanah.
Hipotik
di atur dalam buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232. sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) mak Hipotik atas tanah
dan segala benda-benda uang berkaitan dengan benda dengan tanah itu menjadi
tidak berlaku lagi. Namun diluar itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 Tentang Penerbangan, Hipotik masih berlaku dan dapat dijaminkan atas kapal
terbang dan helicopter. Demikian juga berdasarkan Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang
dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran, Kapal Laut dengan bobot
20m3 ke atas dapat dijadikan jaminan Hipotik.
II.
Dasar
Hukum
Hipotik
diatur dalam buku II BW pasal 1162-1232
III.
Pengertian
Hipotik
Hypotheca berasal
dari bahasa latin, dan hypotheek dari bahasa Belanda, yang
mempunyai arti “Pembebanan”. Sedangkan Menurut Pasal 1162 B.W, hipotik
adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk
mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan ) benda itu.
Pasal
1168 KUH Perdata menyatakan lebih lanjut sebagai berikut : Hipotik tidak bisa
diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah tagankan benda yang di
bebani. Sedangkan pasal 1171 KUH Perdata mengatakan : Hipotik hanya
dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dengan hal-hal yang dengan
tegas ditunjuk oleh Undang-Undang. Kemudian Pasal 1175 sebagai berikut
: Hipotik hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hiopotik
atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari adalh batal. Selanjutnya
Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakan sebagai berikut: Suatu Hipotik hanyallah
sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan, adalah tentu dan
ditetapkan di dalam akta.
Dalam
buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan karangan
Hartono Hadisoeprapto menjelaskan, bahwa hipotik adalah bentuk jaminan jaminan
kredit yang timbul dari perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang adanya
harus diperjanjikan terlebih dahulu.
Dalam KUH Perdata, hipotik diatur dalam bab III pasal 1162 s/d 1232. Sedangkan definisi dari hipotik itu sendiri adalah hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak untuk mengambil pergantian dari benda bagi pelunasan suatu hutang.
Hak
Hipotik merupakan hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda
tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
Menurut pasal 1131 B.W. tentang piutang-piutang yang diistimewakan bahwa
“segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Yang mana dalam pembahasan
yang dikaji dalam makalah ini khusus kepada kebendaan si berutang berupa benda
yang tidak bergerak yang dijadikan sebagai jaminan untuk hutang, inilah yang
termasuk dalam pengertian hak Hipotik seperti yang telah disebutkan di atas.
Apabila orang yang berhutang tidak dapat menepati kewajibannya, maka orang
berpihutang dapat dengan pasti dan mudah melaksanakan haknya terhadap si
berhutang, atau sederhananya si berpiutang dapat meminta benda yang dijadikan
sebagai jaminan, meskipun barang itu sudah berada di tangan orang lain.
Pengertian Hipotik menurut
ahli
Vollmar
Hipotek diartikan sebuah hak kebendaan atas benda-benda bergerak tidak
bermaksud untuk memberikan orang yang berhak (pemegang Hipotek) sesuatu nikmat
dari suatu benda, tetapi ia bermaksud memberikan jaminan belaka bagi pelunasan
sebuah hutang dengan di lebih dahulukan.
IV.
Objek
Hipotik
Objek Hipotik Dan Perkembangannya
Objek hipotik menurut Pasal 1164 KUH Peradata, yang dapat di bebani hipotik adalah :
- Benda-benda tidak bergerak yang dapat di pindahtagankan, beserta segala perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak.
- Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas-atas benda tersebut beserta segala perlengkapanya.
- Hak numpang karang (postal, identik dengan hak guna bagunan) dan hak usaha (erfpactt, identik dengan ak guna usaha).
- Bunga tanah, baik yang harus di bayar dengan uang maupun yang harus di bayar dengan hasil tanna.
- Bunga sepesepuluh
- Pasar-pasar yang di tentuin oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya.
Objek
hipotik di luar dari pada Pasal 1164 KUH Peradata, yang dapat di bebani hipotik
adalah :
- Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan Hak Milik Bersama Bebas (Vrije Mede Eigendom).
- Kapal-kapal yang didaftar menurut Pasal 314 ayat KUH D gaan.
- Hak Konsensi Pertambangan menurut Pasal 18 Indische Minjwet.
- Hak Konsensi menurut S. 1918 No. 21 Jo. No. 20 yang juga dapat dijadikan jaminan Hipotik. Dan lain-lain
Berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA)
- Berdasarkan peraturan menteri agrarian nomor 2 tahun 1960 pasal 2, diadakan penggolongan-penggolongan sebagai berikut :
- Hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotik adalah,Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari konvensi tanah-tanah Barat yaitu eigendom, hak postal dan hak Erwacht.
- Hak-hak tanah yang dapat dibebani credietverband adalah, hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari hak-hak Indonesia yaitu hak-hak atas tanah adapt.
- Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 10 tahun 1961 dengan peraturan pelaksananya yaitu, Peraturan Mentri Agraria ( PMA ) No. 15 tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran hipotik dan Credietverband, maka tidak lagi diadakan pengolongan mengenai hak-hak tanah yang mana yang dapat dibebani hipotik dan yang mana yang dapat dibebani Credietverband.
Hal
tersebut yang disebabkan karena baik hipotik maupun credietverband dapat
dibebankan pula pada :
- Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak Barat maupun yang berasal dari konvensi hak-hak tanah adat.
- Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang baru ( yang tidak berasal dari konvensi ) yaitu yang baru diadakan setelah tanggal berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960. hal ini yang didasarkan pada pasal 1 PMA No. 15 tahun 1961 yang menyatakan tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut ketentuan PP No. 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah dapat dibebani hipotik dan credietverband.
Berkaitan
dengan objek hak jaminannya tersebut jika kita bandingkan antara KUH Perdata
dengan UUPA sebelum berlakunya Undang-undang No. 16 tahun 16 tahun 1985 tentang
Rumah Susun ( UURS ) maka akan ditemui hal-hal sebagai
bericht :
- Menurut KUH Perdata, objek utama hak jaminan adalah, hak atas tanah dan segala yang menjadi satu dengan tanah tersebut. Jadi termasuk didalamnya tumbuhan dan bangunan dengan status Eigendom, postal, erfpacht yang kesemuanya dapat dijadikan jaminan hipotik. Hal ini sesuai degan azas yang dianutnya yaitu perlekatan ( accessie ).
- Menurut UUPA jo. PMA No. 15 tahun 1961, objek utama hak jaminan adalah hak atas tanah dengan status hak milik ( pasal 25 UUPA ), hak guna usaha (pasal 33 UUPA0 da hak guna bangunan (pasal 39 UUPA), kesemuanya dapat dijadikan jaminan deengan dibebani hak tanggungan.
Hal
ini adalah sehubungan dengan UUPA yang mengatur tentang tanah (agrarian) dan
menganut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding). Tentang statusnya
itu UUPA hanya mengatur tentang status hak atas saj dan tidak dan tidak
mengatur tentang bagaimana status bangunan, rumah dan lain-lainnya yang terletak
diatas tanah yang bersangkutan apakah dapat dijaminkan secara terpisah dari
tanahnya atau tidak dan melalui lembaga apa.
V.
Subyek
Hipotik
Sesuai
dengan pasal 1168 KUH perdata, di sana dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan
mengenai siapa yang dapat memberikan hipotik dan siapa yang dapat menerima atau
mempunyai hak hipotik.
Sedangkan badan hukum menurut tata hukum tanah sekarang tidak berhak memiliki hak milik, kecuali badan-badan hukum tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang tertuang dalam pasal 21 ayat 2 UUPA. Ada empat golongan badan hukum yang berhak mempunyai tanah berdasarkan PP no. 38 tahun 1963 yaitu:
1. Badan-badan pemerintah
2. Perkumpulan-perkumpulan koperasi
pertanian
3. Badan-badan social yang ditunjuk oleh
menteri dalam negeri
4. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh
menteri dalam negeri.
Mengenai siapa-siapa yang dapat memberikan hipotik ialah warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada pada UUPA sendiri.
VI.
Azas-azas
Hipotik
- Azas publikasi, yaitu mengharuskan hipotik itu didaftarkan supaya diketahui oleh umum. Hipotik didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian setempat.
- Azas spesifikasi, hipotik terletak di atas benda tak bergerak yang ditentukan secara khusus sebagai unit kesatuan, misalnya hipotik diatas sebuah rumah. Tapi tidak aada hipotik di atas sebuah pavileum rumah tersebut, atau atas sebuah kamar dalam rumah tersebut.
Benda
tak bergerak yang dapat dibebani sebagai hipotik adalah hak milik, hak guna
bangunan, hak usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak barat, maupun yang
berasal dari konvensi hak-hak adaptasi, serta yang telah didapatkan dalam daftar
buku tanah menurut ketentaun PP no. 10 tahun 1961 sejak berlakunya UUPA no. 5
tahun 1960 tanggal 24 september 1960.
VII.
Sifat-Sifat
Hipotik
Adapun
sifat-sifat hipotik yaitu:
- Hipotik merupakan perjanjian yang accessoir, artinya bahwa perjanjian hipotik itu merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam mengganti (kredit), sehingga perjanjian hipotik itu tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok tersebut.
- Hipotik ini tidak dapat dibagi-bagi, artinya bahwa hipotik itu akan selalu melekat sebagai jaminan sampai hutang yang bersangkutan seluruhnya dilunasi oleh debitur.
- Hipotik bersifat zaaksgevolg (droit de suitei), artinya bahwa hak hipotik akan selalu melekat pada benda yang dijaminkan dimanapun atau pada siapapun benda tersebut brada.
- Hipotik mempunyai sifat lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya.
VIII.
Cara
Mengadakan Hipotik
Ditinjau dari ketentuan-ketentuan hukum Perdata Barat yang
berlaku sebelum diundangkanya UUPA (UU No.5 tahun 1960, L.N. 1960 No.104), maka
cara terjadinya hipotik dapat kita perinci menjadi tiga fase/tahap:
Fase pertama : hipotik seperti halnya gadai bersifata
accessoir, ini berarti hipotik diadakan sebagai tambahan belaka dari suatu
perjanjian pokok, yaitu perjanjian minjam meminjam uang. Karena itu untuk
adanya perjanjian hipotik itu harus pertama-tama harus lebih dahulu ada
persetujuan pokok yaitu misalnya persetujuan utang piutang.
Fase kedua : persetujuan utang piutang tersebut kemudian
disusul dengan persetuan hipotik, dimana pihak yang berhutang (atau pihak
ketiga yang mau menanggung utang tersebut) berjanji untuk memberikan hipotik
kepada siber[iutang sebagai jaminan bagi pembayaran kembali utang tersebut.
Berlainan dengan persetujuan pokok yang bersifat obligatoir, persetujuan
hipotik bersifat kebendaan.
System KUH Perdata mengadakan perbedaan yang nyata
mengenai cara mengadakan persetujuan obligatoir dengan cara mengadakan
persetujuan kebendaan. Persetujuan obligatoir ini diatur dalam buku ke-3 KUH
Perdata, dimana dalam pasal 1338 KUH Perdata ditentukan, bahwa segala
persetujuan bagaimanapun juga cara diadakannya, sudah bersifata mengikat kudua
belah pihak, asal saja terbentuk menurut syarat-syarat yang ditentukan
Undag-undang, yaitu yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Jadi mengenai bentuknya, persetujuan obligatoir bersifata
bentuk bebas. Ini dapat disimpulkan dari bunyi kata-kata pasal 1338 KUH Perdata
: “ suatu persetujuan bagaimanapun juga caranya diadakan..”
Lain halnya dengan persetujuan kebendaan yang diatur dalam
buku ke-2 KUH Perdata di mana ditentukan cara-cara tertentu untuk membuat
persetujuan-persetujuan kebendaan tersebut, yaitu dengan membuat suatu akte
yang di buat di hadapan seorang pejabat tertentu. Demikkian pula halnya dengan
persetujuan hipotik, hal yang mana mula-mula di atur oleh pasal 1171 : 1 dan
1172 KUH Perdata, di mana ditentukan bahwa perjanjian hipotik harus di buat
suatu akte otentik, antara lain dengan akte notaries karena akte notaris adalah
seorang pejabat yang diwajibkan untuk membuat akte otentik. Tetapi kedua pasal
tersebut tidak berlaku lagi menurut pasal 31 Peraturan Peralihan
Perundang-undangan tahun 1848, yang menentukan satu sama lain harus dilakukan
secara membuat akte kehakiman menurut pasal 1 dari Stb. 1834 : 27, akte mana
menurut S. 1947 : 53 harus dibut di muka Kepala Kantor Pendaftara Tanah.
Sedangkan menurut peraturan yang berlaku sekarang mengenai
pembuatan akte hipotik, yakni pasal 19 P.P. 10/1961 ditetapkan bahwa akte
hipotik/akte perjanjian pemberian hipotik harus dibuta oleh dan dihadapan
pejabat yang dituju lebih dahulu, Menteri Agraria, sekarang Menteri Dalam
Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria (Sekarang Badan Pertanahan Nasional),
karena sejak 3 November 1966 jabatan Menteri Agraria telah ditiadakan dan
wewenangnya sekarang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Agraria yang
bernaung dibawah lingkungan Departemen Dalam Negeri (Keputusan Presidium
Kabinet No. 75/U/Kep/11/1966 Tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas
Departemen-Departemen). Dengan dibuatnya akte hipotik tersebut, maka fase kedua
ini selesai. Tetapi dengan selesainya fase kedua ini, yaitu pembuatan akte
hipotik, belum timbul hak hipotik, melainkan masih harus dilanjutkan dengan
fase k tiga.
Fase ketiga : Dulu. Akte hipotek harus didaftarkan kepada
“Pegawai Pengurusan Balik Nama” atau lazim juga disebut “Pegawai Penyimpanan
Hipotek” yang wilayahnya meliputi tempat dimana persil atau rumah yang
dihipotekkan terletak.
Menurut ketentuan yang berlaku sekarang, yaitu pasal 2
Peraturan Menteri Agraria No. 15/1961 TLN. 1961 No. 2347 ditetapkan, bahwa :
hipotek agar sah harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah yang
wilayahnya meliputi letak tanah atau rumah yang dibebani hipotek. Jadi, yang
berfungsi sebagai penyimpan hipotek sekarang adalah kepala Kantor Pendaftaran
Tanah.
Pendaftaran ini perlu, mengingat sifat “droit desuite”
dari hak hipotek tersebut, sehingga perlu diberitahukan kepada umum mengenai
terjadinya, beralihnya dan hapusnya hak hipotek tersebut, yaitu dengan jalan
pendaftaran dalam register umum tersebut.
Setelah pendaftaran ini selesai dilakukan, barulah hak
hipotek itu timbul sebagai hak kebendaan yang mempunyai kekuatan hukum terhadap
orang-orang pihak ketiga.
IX.
Asas-Asas
Hipotik
Dalam
buku Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah karangan Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, menjelaskan mengenai asas-asas hukum yang penting dibuat dalam hipotik
ialah:
- Asas Publiciteit, asas yang mengharuskan bahwa hipotik itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga/ umum. Mendaftarkannya ialah ke Seksi Pendaftaran Tanah. Yang didaftarkan ialah akte dari Hipotik itu.
- Asas Specialiteit, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Benda-benda tak bergerak yang mana terikat sebagai tanggungan. Misalnya: Benda-benda yang dihipotikkan itu berwujud apa, di mana letaknya, berapa luasnya/besarnya, perbatasannya.
- Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid), ini berarti bahwa hipotik itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotikkan dalam keseluruhannya atas setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda bergerak. Dengan dibayarnya sebagian dari hutang tidak mengurangi/meniadakan sebagai dari benda yang menjadi tanggungan.
X.
Isi
Akte Hipotik
Isi
daripada akte hipotik itu pada umumnya dibagi menjadi 2 bagian:
- Isi yang bersifat wajib, yaitu berisi hal-hal yang wajib dimuat, misalnya tanah itu harus disebutkan tentang letak tanah yang bersangkutan, luasnya jenis dari tanah tersebut (sawah, tegalan, pekarangan dan sebagainya), status tanah, subur atau tidaknya, daerah banjir atau bukan dan sebagainya. Kalau misalnya mengenai bangunan, maka harus disebutkan tentang letak bangunan, ukuran bangunan, model/jenis bangunan, konstruksi bangunan serta keadaan/kondisi bangunan (Pasal 1174 KUH Predate).
- Isi yang bersifat fakultatif, yaitu tentang hal-hal yangboleh dimuat atau tidak dimuat di dalam akte tersebut. Dan ini biasanya berupa janji-janji/bendingan antara pemegang dan pemberi hipotik, seperti janji untuk menjual benda atas kekuasaan sendiri, janji tentang sewa, janji tentang asuransi dan sebagainya. Namun meskipun janji-janji/bendingan tersebut merupakan isi akte hipotik yang bersifat fakultatif, pada umunya selalu dicantumkan pada akte hipotik tersebt. Hal ini dilakukan dengan maksud agar bila dikemudian hari timbul hal-hal yang tidak diharapkan sudah jelas pembuktiannya.
XI.
Janji
- Janji (Bedingen) dalam Hipotik
Di
dalam perjanjian Hipotik lazim diadakan janji-janji yang bermaksud melindungi
kepentingan Creditur supaya tidak dirugikan. Janji-janji demikian harus
tegas-tegas dicantumkan dalam akte Hipotik, yaitu:
1. Janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri, pasal 1178 KUH Perdata.
2. Janji tentang sewa, pasal 1185 KUH
Perdata.
3. Janji untuk tidak dibersihkan, pasal 1210
KUH Perdata.
4. Janji tentang Asuransi, pasal 297 KUHD.
Namun demikian para pihak tidak boleh mengadakan janji untuk memiliki bendanya manakala debitur wanprestasi yaitu disebut vervalbeding. Beding demikian adalah dilarang (pasal 1178 ayat 1 KUH Perdata). Larangan adanya janji yang demikian itu adalah untuk melindungi debitur agar dalam kedudukannya yang lemah itu karena membutuhkan kredit terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat yang sangat merugikan baginya. Juga larangan demikian itu mencegah turunnya harga/nilai dari benda yang dibebani hipotik itu kurang dari nilai yang sesungguhnya sehingga berakibat tidak seluruh piutang-piutang kreditur dapat dibayar dari hasil penjualan benda tersebut. Larangan adanya janji yang demikian itu juga kita jumpai pada Credietverband yaitu diatur dalam pasal 12 dari Peraturan mengenai Credietverband yang menentukan semua janji-janji dimana kreditur dikuasakan untuk memiliki benda yang menjadi jaminan adalah båtål.
1. Janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri
Pemegang
hipotik yang pertama diberi kemungkinan untuk minta ditetapkan suatu jani bahwa
pemegang hipotik diberi kekuasaan yang tidak dapat dicabut kembali untuk
menjual benda yang dihipotikkan atas kekuasaan sendiri tanpa perantaraan
Pengadilan, manakala debitur tidak memenuhi kewajiban. Dengan syarat bahwa
penjualan benda itu setelah dikurangi dengan piutangnya dikembalikan kepada
debitur.
Dalam
ilmu pegetahuan pernah ada persoalan dan selisih pendapat antara pengarang
yaitu mengenai soal apakah pada pelaksanaan janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri itu disitu ada perwakilan atau tidak. Artinya bertindaknya kreditur
untuk menjula benda-benda yang dihipotikkan itu mewakili debitur atau
melaksanakan haknya sendiri
Penjualan yang dilakukan oleh pemegang hipotik yang pertama yang melaksanakan ketentuan pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata itu bertindaknya sebagai kuasa dari eigenaar atau menjual atas haknya sendiri? Pendapat pertama disebut mandaatstheorie, pendapat kedua disebut leer der vereenvoudigde executie.
Ditekankan disini pada kata “vereenvoudigde” sebab disini tidak merupakan executie yang sesungguhnya melainkan pelaksanaan/singkat. Para pengarang pada umumnya mengikuti executie therie, sedangkan HR dalam rentetan Arrest-arrestnya mengikuti mandaats theorie.
Menurut
Scholten dikatakan bahwa pelaksanaan janji yang demikian itu tidak ada
perwakilan. Sebab menurut Scholten ukurannya untuk adanya perwakilan harus ada
kepentingan antara si wakil dan yang diwakili. Pada penjualan itu disitu tidak
ada kepentingan dari debitur. Kreditur bertindaknya bukan untuk kepentingan
debitur melainkan melaksanakan haknya sendiri, bahkan mungkin bertentangan
dengan kehendak debitur. Barang siapa melaksanakan haknya sendiri terhadap
benda orang lain selalu menjalankan akte notaries seperti menjalankan keputusan
hakim.
Menurut
Eggens, dan ini juga diikuti oleh Hoge raad dalam arrest-arrestnya berpendapat
bahwa pada pelaksanaan janji yang demikian itu, di situ terdapat perwakilan.
Kreditur bertindak menjual barang-barang itu mewakili debitur. Yaitu ternyata
dari adanya Volmacht/kuasa dan merupakan onherroepelojk volmacht yaitu kuasa
yang tak dapat ditarik kembali sebagaimana menurut ketentuan pasal 1178 ayat 2
KUH Perdata.
Menurut
Eggens ukuran untuk adanya perwakilan cukup asal kreditur mempunyai kewenangan
untuk menetapkan kedudukan hukum orang lain. Yang menjadi persoalan lagi dalam
pelaksanaan “beding van eigen machtige verkoop” ialah bahwa menurut ketentuan
Undang-undang groosse akte hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial artinya jika
debitur tidak memenuhi kewajibannya, kreditur dapat melakukan eksekusi atas
barang-barang jaminan secara langsung tanpa campur tangan pengadilan namun
prakteknya bank minta campur tangan pengadilan. Kenyataanya dalam praktek
sering juga terjadi debitur berusaha mengulur-ulur pemenuhan kewajiban dengan
jalan/alas an menunggu keputusan pengadilan dan dengan demikian terbuka
kemungkinan untuk masih dapat mengulur waktu lagi dengan jalan naik banding.
Mengenai
masalah eksekusi dalam hal debitur ini dalam praktek perbankan sering terjadi
procedure sebagai berikut: mula-mula ditempuh jalan damai yaitu debitur disuruh
menjual sendiri barang-barang jaminan itu dengan pengawasan dari bank kemudian
pembayaran harga barang-barang tersebut harus dilakukan di bank. Jika jalan
damai demikian sulit ditempuh maka bank menyerahkan persoalan ke Pengadilan
atau PUPN.
2. Janji tentang sewa (huurbeding)
Pemegang
hipotik dapat minta ditetapkan suatu janji yang membatasi pemilik tanah
(pemberi hipotik) dalam hal menyewakan tanahnya, yaitu harus seizing pemegang
hipotik, atau hanya dapat menyewakan selama waktu tertentu, atau menyewakan
dengan cara tertentu atau dibatasi dalam hal besarnya pembayaran uang muka,
karena semuanya itu akan merugikan kreditur jika benda itu harus dilelang
mengingat berlakunya pasal 1576 KUH Perdata, mengenai asas “Koop breekt geen
huur”, janji sewa yang demikian itu tidak hanya mengikat para pihak melainkan
juga mengikat pihak ketiga, mereka memperoleh hak. Kalau janji yang demikian
itu dilanggar oleh pemilik tanah maka pemegang hipotik dapat menuntut
pelaksanaan janji tersebut dari si penyewa, yaitu dapat menuntut pembatalan perjanjian
sewa-menyewa itu.
Ada
persoalan bagaimana jika tanah objek hipotik itu dijual oleh pemegang hipotik
untuk melunasi hutang-hutang pemberi hipotik, apakah pembeli tanah itu juga
mempunyai hak untuk menegur penyewa apabila dulu pemilik tanah melanggar janji
tentang sewa.
Menurut
Scholten, sesuai dengan pendiriannya bahwa dalam melaksankan penjualan tanah
yang dibebani hipoti di situ bertindaknya pemegang hipotik bukan mewakili
pemilik tanah melainkan melaksanakan haknya sendiri, maka haknya pemegang
hipotik untuk menegur penyewa itu dianggap beralih kepada pambeli tanah. Jadi
pembeli tanah dapat menegur penyewa atau menuntut pembatalan manakala janji itu
dilaggar.
Sedangkan
menurut Jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda pembeli tidak dapat menegur
penyewa, oleh karena pemegang hipotik dalam menjual tanah itu bertindak
mewakili pemilik tanah maka yang beralih kepada pembeli ialah hak-hak dari
pemilik tanah, tidak termasuk hak untuk menegur penyewa karena hak untuk
menegur penyewa itu adalah hak dari pemegang hipotik.
Lain
halnya dengan janji untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, janji
tentang sewa ini dapat dibuat oleh pemegang hipotik yang pertama, kedua dan
seterusnya. Justru ini penting bagi pemenang hipotik yang terakhir yang
biasanya lebih dapat dirugikan daripada pemegang hipotik yang pertama karena adanya
perjanjian-perjanjian sewa yang merugikan.
3. Janji untuk tidak dibersihkan
Pemegang
hipotik pertama dapat minta diperjanjikan agar hipotiknya tidak
dibersihkan/dihilangkan dalam hal terjadi penjualan tanahnya oleh pemilik.
Pasal 1210 ayat 1 KUH Perdata menentukan bahwa apabila tanah yang dibebani
hipotik itu dijual baik oleh pemegang hipotik untuk memenuhi piutangnya maupun
oleh pemilik tanah sendiri maka si pembeli dapat minta agar dari beban yang
melebihi harga pembelian hipotik damikian itu dibersihkan. Hal demikian itu
akan merugikan si pemegang hipotik karena untuk sisa piutangnya lalu sudah
tidak dijamin dengan hipotik lagi dilaksanakannya pembersihan itu dengan
mencatumkan janji demikian tadi di dalam akte hipotik.
Namun
janji yang demikian hanya dapat diadakan terhadap penjualan oleh pemilik tanah
sendiri bukan penjualan tanah oleh pemegang hipotik guna melaksanakan haknya atau
atas perintah pengadilan.
4. Janji tentang asuransi
Janji
yang senantiasa juga dicantumkan dalam akte ialah janji tentang asuransi. Yaitu
perjanjian bahwa terhadap benda objek hipotik yang diasuransikan jika kemudian
tertimpa kebakaran, banjir, dan sebagainya, maka uang asuransi harus
diperhitungkan untuk pembayaran piutang pemegang hipotik. Janji yang demikian
itu harus diberitahukan kepada perusahaan asuransi supaya perseroan asuransi
terikat oleh adanya janji yang demikian yang dibuat oleh pemberi hipotik dan
pemegang hipotik.
Di
samping cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang hapusnya hipotik
dimungkinkan juga terjadi karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan,
berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Oktober 1970 No. BA
10/241/10. Dengan hapusnya hipotik karena hapusnya hak atas tanah yang
bersangkutan yang hapus hanya perjanjian hipotiknya tidak menghapuskan
perutangan yang pock.
Karenanya
bank harus hati-hati dan seksama dalam menghadapi kemungkinan tersebut di atas,
dengan mencantumkan janji-janji tertentu di dalam akte pembebanannya untuk
mencegah kemungkinan timbulnya kerugian bagi kreditur di samping adanya sifat
pemberian perlindungan/pelipur dari penguasa.
Kemungkinan
janji-janji khusus tersebut adalah sebagai berikut:
- Jika tanah hapus karena pencabutan hak maka diperjanjikan bahwa pengganti kerugian yang diberikan kepada debitur akan dipergunakan untuk pelunasan hutangnya debitur.
- Jika tanah hapus karena pembatalan dan kembali dalam kekuasaan Negara, maka hendaknya pemerintah memberikan hak kepada kreditur untuk melanjutkan hak tersebut dan mempunyai wenang untuk menjual hak tersebut.
- Jika tanah hapus karena habisnya waktu yang diberikan selayaknya bank memperhitungkan dengan seksama jangka waktu pemberian hak tersebut.
Untuk
keseragaman permohonan Roya yang diajukan oleh bank hendaknya dicantumkan dalam
blangko tertentu yang dibuat oleh Ditjen Agraria. Demikian juga mengenai
pelaksanaan roya hendaknya ada keseragaman.
XII.
Prosedur
Pengadaan Hak Hipotik
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi ketika akan mengadakan hipotik adalah: 1) Harus ada
perjanjian hutang piutang, 2) Harus ada benda tak bergerak untuk dijadikan
sebagai jaminan hutang.
Setelah
syarat di atas dipenuhi, kemudian dibuat perjanjian hipotik secara tertulis
dihadapan para pejabat pembuat akta tanah atau disingkat PPAT (pasal 19 PP no.
10 tahun 1961), yang dihadiri oleh kresitur, debitur dan dua orang saksi yang
mana salah satu saksi tersebut biasanya adalah kepala desa atau kelurahan
setempat di mana tanah itu terletak. Kemudian akta hipotik itu didaftarkan pada
bagian pendaftaran tanah kantor agrarian yang bersangkutan.
XIII.
Hapusnya
Hipotik
Di
samping menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, hapusnya
Hipotik karena hapusya hak atas tanah yang bersangkutan berdasar Surat Menteri
Dalam Negeri tanggal 27 Oktober 1970 no. BA 10/241/10 dimungkinkan. Dengan
hapusnya hipotik karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan yang hapus
hanya perjanjian hipotiknya, tidak menghapuskan perutangan yang pock.
Menurut
pasal 1209 ada tiga cara hapusnya hipotik, yaitu:
1. Karena hapusnya ikatan pokok
2. Karena pelepasan hipotik oleh si
berpiutang atau kreditur
3. Karena penetapan oleh hakim
Adapun hapusnya hipotik di luar ketentuan KUH Perdata yaitu:
1. Hapusnya hutang yang dijamin oleh hipotik
2. Afstan hipotik
3. Lenyapnya benda hipotik
4. Pencampuran kedudukan pemegang dan
pemberi hipotik
6. Pencabutan hak milik
UNIVERSITAS NASIONAL
Mega Regina - 133112330050041
0 comments