GADAI SYARIAH

By 3.12.15

HUKUM JAMINAN
GADAI SYARIAH


      I.         LATAR BELAKANG LAHIRNYA GADAI SYARIAH

Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya kolonial belanda, yaitu sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian.

Lahirnya pegadaian syariah sebenarnya berawal dari hadirnya fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat terbitnya PP No. 10 tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh pegadaian syariah adalah untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak berubah hingga diterbitkannya PP No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum pegadaian hingga sekarang.

Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS). Konsep operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai islam. ULGS merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.

    II.         DASAR HUKUM GADAI SYARIAH

1.     Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai

2.     Hadist Rasul
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya  yang meriwayatkan Nabi Muhammad s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang dengan jaminan berupa baju besinya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r. a., berkata :
“ Rasullulah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau meggadaikan kepadanya baju besi beliau “.

3.     Ijtihad ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.

4.     Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan.

  III.         PENGERTIAN GADAI SYARIAH

Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berpiutang tersebut memberikan kekuasaan yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berpiutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

Gadai dalam fiqh diebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan. Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat actual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan. Menurut mahab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan tersebut tidak termasuk manfaatnya. 

Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.

Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.

Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang.



   IV.         OBJEK GADAI SYARIAH

Barang nasabah yang ingin memperoleh fasilitas pinjaman dari penggadaiaan syariah, maka hal yang paling penting diketahui adalah masalah barang yang dapat dijadikan jaminan di penggadaiaan syariah.

Adapun jenis-jenis barang berharga yang dapat diterima dan dijadikan jaminan penggadaian syariah adalah sebagai berikut:
  1. Barang-barang atau benda perhiasaan, antara lain: emas, perak, intan, berlian, mutiara, platina dan jam.
  2. Barang-barang berupa kendaraan seperti mobil ( termasuk bajaj dan bemo ), sepeda motor dan sepeda biasa ( termasuk becak ).
  3. Barang-barang elektronik, antara lain: televisi, radio, radio tape, vidio, komputer, kulkas, tustel, dan mesin tik.
  4.  Mesin-mesin seperti mesin jahit dan mesin kapal motor.
  5. Barang-barang keperluan rumah tangga seperti: Barang tekstil, berupa pakaian, permadani atau kain batik, Barang pecah belah dengan catatan bahwa semua barang yang dijaminkan harus dalam kondisi baik dalam arti masih dapat digunakan dan bernilai.

Keberadaan barang gadai selain karena alasan syariah, juga dikarenakan alasan keterbatasan tempat penyimpanan barang jaminan, kesulitan dalam menaksirkan barang jaminan, jenis barang jaminan mudah rusak dan jenis barang jaminan berbahaya. Barang-barang jaminan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Barang-barang yang berukuran besar, seperti pesawat terbang, kereta api,  satelit, tank dan sebagainya.
  2. Barang-barang yang berbahaya, seperti bahan peledak ( bom atau granat ), senjata api, dan sebagainya.
  3. Barang-barang yang sulit dalam penyimpanannya dan pemeliharaannya, seperti tanaman, hewan, dan sebagainya.

Dalam menggadaikan barang di pegadaian syariah harus memenuhi ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
  1. Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan. Artinya barang yang digadaikan diakui oleh asyarakat memiliki nilai yang bisa dijadikan jaminan.
  2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan atau barang yang pinjam dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.
  3. gadai itu tidak sah apabila utangnya belum pasti.
  4. Disyaratkan pula agar utang piutang dalam gadai itu diketahui oleh kedua belah pika.
  5. Menerima barang gadai oleh pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai atas tetapnya gadaian. Karena itu, gadai belum ditetapkan selama barang yang digadaikan itu belum diterima oleh pegadaian.
  6. Seandainya ada orang menggadaikan barang namun barang tersebut belum diterima oleh pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.
  7. Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka gadai tersebut telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik cembalo.
  8. Penarikan kembali atau pembatalan akad gadai itu biasanya dilakukan dengan ucapan dan tindakan. Jika pegadaian menggunakan barang gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status kepemilikan, maka batallah akad gadai itu.
  9. Jika akhir masa sewanya belum tiba maka waktu membayar utangnya tidak termasuk pembatalan.
  10. Jika masa membayar utang pada gadai lebih awal dari pada masa sewa ( masa sewanya lebih lama dari pada masa gadai ) , maka tidaklah termasuk pembatalan gadai dan memperbolehkan penjualan barang yang digadaikan.
  11. Barang gadaian adalah amanat di tangan penerima gadai, karena ia telah menerima barang itu dengan ijin nasabah. Maka status amanat barang gadai, seperti amanat berupa barang yang disewakan. Jadi, pegadaian tidak wajib menanggung kerusakan barang gadai, kecuali jika disengaja atau lengah.
  12. Jika barang gadaian tersebut musnah tanpa ada kesengajaan dari pihak pegadaian, pegadaian tidak wajib menanggung barang tersebut dan jumlah ppinjaman yang telah diterima oleh pegadai tidak boleh dipotong atau dibebaskan. Sebab, barang tersebut adalah amanat dari nasabah untuk mendapatkan pinjaman, maka pinjaman itu tidak boleh dibebasakan akibat musnahnya barang gadaian itu.
  13. Seandainya pegadaian mengaku bahwa barang gadai terssebut musnah, maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dengan disertai sumpah, sebab pegadaian tidak menjelaskan sebab – sebab musnahnya barang tersebut, atau ia menyebutnya tetapi tidak jelas.   
  14. Seandainya pegadaian mengaku telah mengembalikan barang gadaian, pengakuan tidak dapat diterima kecuali disertai dengan bukti ( kesaksian ) sebab bukti bagi pegadaian itu tidak sulit, dan lagi barang yang di tangan pegadain itu untuk piutangnya sendiri, maka pengakuannya tidak dapat diterima kecuali disertai dengan bukti sama halnya dengan pengakuan peminjam.
  15.  Jika pegadaian itu lengah atau merusak barang gadaian karena sengaja memanfaatkan barang yang dilarang untuk dipergunakan, maka pegadaian harus menggantinya.

     V.         PARA PIHAK DALAM GADAI SYARIAH

Dalam pegadaian syariah atau  rahn terdapat beberapa istilah, orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahin, orang yang menerima barang gadai disebut murtahin, dan barang yang digadaikan yaitu marhun.

  1. Ar – Rahin ( yang menggadaikan ) : Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
  2. Al – Murtahin  ( yang menerima gadai ) : Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang ( gadai).  
  3. Al – Marhun / barang : Barang yang digunakan rahin  untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utan.
  4. Al – Marhun bih : Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin  atas dasar besarnya tafsiran marhun.
  5. Sighat, Ijab dan Qabul : Kesepakatan antara rahin  dan murtahin  dalam melakukan transaksi gadai.  

Hak dan Kewajiban  pihak Penerima Gadai :
1. Hak Murtahin ( Penerima Gaddas )
  • Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
  • Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
  • Selama pinjaman belun dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.     Kewajiban Penerima Gadai
  • Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya barang gadainya yang diakibatkan oleh kelalaiannya.
  • Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sender.
  • Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.

Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
1.     Hak pemberi gadai :
  • Pemberi gadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.
  • Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dan kerusakan dan jika hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan akibat kelalaian gadai.
  • Pemberi gadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
2.     Kewajiban pemberi gadai :
  • Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya dalam waktu yang telah ditentukan.
  • Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentuka pemberi gadai tidak dapat melunasinya

   VI.         SAAT LAHIRNYA GADAI SYARIAH

Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang pitang bersama dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian barang dan kredit. Status gadai sah setelah terjadinya utang. Para ulama pun menilai hal ini sah karena utang tetap menuntut pengambilan jaminan. Oleh karena itu, dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.

 VII.         SAAT HAPUSNYA GADAI SYARIAH

1.     Utang pokok hapus dengan suatu cara yang telah dijanjikan
2.     Pemegang gadai melepaskan hak dengan sukarela
3.     Apabila barang gadai musnah
4.     Apabila pemegang gadai menjadi pemilik barang gadai dengan secara sah


VIII.         PROSEDUR DALAM MENGGADAIKAN BARANG DALAM GADAI SYARIAH

Sistem implementasi pegadaian syariah hampir sama dengan pegadaian konvensional yaitu pegadaian syariah menyalurkan uang pinjaman dengan barang jaminan barang bergerak. Prosedurnya juga sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukan buku identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan lalu uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebihnya 15 menit). Sedangkan untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang singkat.

Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
  1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan dan kemudian pegadaian syariah menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam melaksanakan pembiayaan.
  2. Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai.
  3. Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya administrasi yang dibayar pada awal transaksi oleh nasabah, dan biaya ijarah atau biaya sewa tempat.
  4. Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo

1.     DOKUMEN YANG DISIAPKAN

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

2.     BARANG YANG AKAN DIGADAIKAN

Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dan tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:
(1)   Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
(2)   Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3)   Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.

3.     PERJANJIAN UTANG PIUTANG YANG DIJAMINKAN DALAM GADAI SYARIAH

Sesuai dengan landasan tersebut, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan dengan melalui akad – akad. Adapun akad – akad dalam pegadaian syariah adalah :

1.     Akad al – Qardul Hasan
Akad  ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah ( rahin )  akan memberikan biaya upah atau  fee kepada pegadaian ( murtahin ) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian ( marhun ).

2.     Akad al – Mudharabah
Akad  dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannnya untuk menambah modal usaha ( pembiayaan investasi dan modal kerja ). Dengan demikian, rahin  akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan kepada murtahin  sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.

3.     Akad Ijarah
Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.


   IX.         PROSES EKSEKUSI GADAI SYARIAH

Penjualan marhun:
  1. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya.
  2.  Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa / dieksekusi.
  3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan, dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
  4. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin


KESIMPULAN

 Dari pembahasan di atas, penulis dapat membuat suatu kesimpulan, yaitu :
  1. gadai (rahn) adalah salah satu bentuk muamalah sebagai realisasi saling membantu (taawun) agar tercipta kemaslahatan umat yang merupakan salah satu prinsip dari hukum Islam.
  2. Gadai (rahn) adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan/ jaminan dari suatu hutang untuk dipenuhi harganya, rahn sebagai jaminan bukan produk dan untuk kepentingan sosial maka tidak boleh dijadikan modal investasi karena pada dasarnya gadai ini bukan untuk kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra.
  3. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
  4. Aspek-aspek penting yag perlu diperhatikan untuk mendirikan lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dll.
  5. Pegadaian syariah bertugas menyalurkan pembiayaan dalam bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai syariah yang setiap akadnya berusaha memenuhi syarat sah dan rukun yang telah ditetapkan oleh para fuqaha.
  6. Hutang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan unutk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.

Perbedaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional adalah :


Persamaan
Perbedaan
1.     Hak gadai atas pinjaman uang.
2.     Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3.     Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
4.     Biaya barang yang digadaikan ditanggung para pemberi gadai.
5.     Apabila batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan dijual atau dilelang.
1.     Rahn dalam islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong – menolong tanpa mencari keuntungan sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong – menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bungan atau sewa modal.
2.     Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak sedangkan dalam hukum islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.     Dalam rahn  tidak asa istilah bunga.
4.     Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.






UNIVERSITAS NASIONAL
Mega Regina - 133112330050041


You Might Also Like

0 comments