HIPOTIK

By 3.12.15

HUKUM JAMINAN
HIPOTIK


      I.         Latar Belakang
Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20m3 

sebelumnya, pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang disebutkan dengan hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No.5 tahun 1960 adapun bunyi dari Pasal UU No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai berikut:

Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad. 1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.190.

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah, terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan hipotik.

Dalam pasal 24 UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan ditetapkan ketentuan sebagai berikut

Hak tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang  menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan Pasal 57 UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok- pokok agraria diakui, dan selanjutnya berlangsung sebagai Hak tanggungan menurut Undang-Undang ini sampai dengan berakhirnya hak tersebut.

adapun untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam Pasal 24 ayat 1  sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24 UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah, pelaksanaan ekskusi dan pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20 dan pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, setelah buku tanah dan sertipikat hak tanggungan yang bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Perihal dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut UU No. 4 tahun 1996 dapat diperoleh dari Pasal 26 undang-undang ini yang berbunyi sebagai berikut

Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak tanggungan.

Dengan demikian, berarti kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah.

Hipotik di atur dalam buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232. sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) mak Hipotik atas tanah dan segala benda-benda uang berkaitan dengan benda dengan tanah itu menjadi tidak berlaku lagi. Namun diluar itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, Hipotik masih berlaku dan dapat dijaminkan atas kapal terbang dan helicopter. Demikian juga berdasarkan Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran, Kapal Laut dengan bobot 20mke atas  dapat dijadikan jaminan Hipotik.

    II.         Dasar Hukum
Hipotik diatur dalam buku II BW pasal 1162-1232

  III.         Pengertian Hipotik
Hypotheca berasal dari bahasa latin, dan hypotheek dari bahasa Belanda, yang mempunyai arti “Pembebanan”.  Sedangkan Menurut Pasal 1162 B.W, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan ) benda itu.

Pasal 1168 KUH Perdata menyatakan lebih lanjut sebagai berikut : Hipotik tidak bisa diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah tagankan benda yang di bebani. Sedangkan pasal 1171 KUH Perdata mengatakan : Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dengan hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh Undang-Undang. Kemudian Pasal 1175 sebagai berikut : Hipotik hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hiopotik atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari adalh batal. Selanjutnya Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakan sebagai berikut: Suatu Hipotik hanyallah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan di dalam akta.

Dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan karangan Hartono Hadisoeprapto menjelaskan, bahwa hipotik adalah bentuk jaminan jaminan kredit yang timbul dari perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu.

Dalam KUH Perdata, hipotik diatur dalam bab III pasal 1162 s/d 1232. Sedangkan definisi dari hipotik itu sendiri adalah hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak untuk mengambil pergantian dari benda bagi pelunasan suatu hutang.

Hak Hipotik merupakan hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Menurut pasal 1131 B.W. tentang piutang-piutang yang diistimewakan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Yang mana dalam pembahasan yang dikaji dalam makalah ini khusus kepada kebendaan si berutang berupa benda yang tidak bergerak yang dijadikan sebagai jaminan untuk hutang, inilah yang termasuk dalam pengertian hak Hipotik seperti yang telah disebutkan di atas. Apabila orang yang berhutang tidak dapat menepati kewajibannya, maka orang berpihutang dapat dengan pasti dan mudah melaksanakan haknya terhadap si berhutang, atau sederhananya si berpiutang dapat meminta benda yang dijadikan sebagai jaminan, meskipun barang itu sudah berada di tangan orang lain.

Pengertian Hipotik menurut ahli
Vollmar Hipotek diartikan sebuah hak kebendaan atas benda-benda bergerak tidak bermaksud untuk memberikan orang yang berhak (pemegang Hipotek) sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi ia bermaksud memberikan jaminan belaka bagi pelunasan sebuah hutang dengan di lebih dahulukan.

  IV.         Objek Hipotik
Objek Hipotik Dan Perkembangannya

Objek hipotik menurut Pasal 1164 KUH Peradata, yang dapat di bebani hipotik adalah :
  1. Benda-benda tidak bergerak yang dapat di pindahtagankan, beserta segala perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak.
  2. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas-atas benda tersebut beserta segala perlengkapanya.
  3. Hak numpang karang (postal, identik dengan hak guna bagunan) dan hak usaha (erfpactt, identik dengan ak guna usaha).
  4. Bunga tanah, baik yang harus di bayar dengan uang maupun yang harus di bayar dengan hasil tanna.
  5. Bunga sepesepuluh
  6. Pasar-pasar yang di tentuin oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya.
Objek hipotik di luar dari pada Pasal 1164 KUH Peradata, yang dapat di bebani hipotik adalah :
  1. Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan Hak Milik Bersama Bebas (Vrije Mede Eigendom).
  2. Kapal-kapal yang didaftar menurut Pasal 314 ayat KUH D gaan.
  3. Hak Konsensi Pertambangan menurut Pasal 18 Indische Minjwet.
  4. Hak Konsensi menurut S. 1918 No. 21 Jo. No. 20 yang juga dapat dijadikan jaminan Hipotik. Dan lain-lain
Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA)
  1. Berdasarkan peraturan menteri agrarian nomor 2 tahun 1960 pasal 2, diadakan penggolongan-penggolongan sebagai berikut :
  2. Hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotik adalah,Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari konvensi tanah-tanah Barat yaitu eigendom, hak postal dan hak Erwacht.
  3. Hak-hak tanah yang dapat dibebani credietverband adalah, hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari hak-hak Indonesia yaitu hak-hak atas tanah adapt.
  4. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 10 tahun 1961 dengan peraturan pelaksananya yaitu, Peraturan Mentri Agraria       ( PMA ) No. 15 tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran hipotik dan Credietverband, maka tidak lagi diadakan pengolongan mengenai hak-hak tanah yang mana yang dapat dibebani hipotik dan yang mana yang dapat dibebani Credietverband.
Hal tersebut yang disebabkan karena baik hipotik maupun credietverband dapat dibebankan pula pada :

  1. Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak Barat maupun yang berasal dari konvensi hak-hak tanah adat.
  2. Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang baru ( yang tidak berasal dari konvensi ) yaitu yang baru diadakan setelah tanggal berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960. hal ini yang didasarkan pada pasal 1 PMA No. 15 tahun 1961 yang menyatakan tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut ketentuan PP No. 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah dapat dibebani hipotik dan credietverband.
Berkaitan dengan objek hak jaminannya tersebut jika kita bandingkan antara KUH Perdata dengan UUPA sebelum berlakunya Undang-undang No. 16 tahun 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun     ( UURS ) maka akan ditemui hal-hal sebagai bericht :


  • Menurut KUH Perdata, objek utama hak jaminan adalah, hak atas tanah dan segala yang menjadi satu dengan tanah tersebut. Jadi termasuk didalamnya tumbuhan dan bangunan dengan status Eigendom, postal, erfpacht yang kesemuanya  dapat dijadikan jaminan hipotik. Hal ini sesuai degan azas yang dianutnya yaitu perlekatan ( accessie ).
  • Menurut UUPA jo. PMA No. 15 tahun 1961, objek utama hak jaminan adalah hak atas tanah dengan status hak milik ( pasal 25 UUPA ), hak guna usaha (pasal 33 UUPA0 da hak guna bangunan (pasal 39 UUPA), kesemuanya dapat dijadikan jaminan deengan dibebani hak tanggungan.
Hal ini adalah sehubungan dengan UUPA yang mengatur tentang tanah (agrarian) dan menganut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding). Tentang statusnya itu UUPA hanya mengatur tentang status hak atas saj dan tidak dan tidak mengatur tentang bagaimana status bangunan, rumah dan lain-lainnya yang terletak diatas tanah yang bersangkutan apakah dapat dijaminkan secara terpisah dari tanahnya atau tidak dan melalui lembaga apa.

    V.         Subyek Hipotik
Sesuai dengan pasal 1168 KUH perdata, di sana dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan mengenai siapa yang dapat memberikan hipotik dan siapa yang dapat menerima atau mempunyai hak hipotik.

Sedangkan badan hukum menurut tata hukum tanah sekarang tidak berhak memiliki hak milik, kecuali badan-badan hukum tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang tertuang dalam pasal 21 ayat 2 UUPA. Ada empat golongan badan hukum yang berhak mempunyai tanah berdasarkan PP no. 38 tahun 1963 yaitu:
1.      Badan-badan pemerintah
2.      Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3.      Badan-badan social yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri
4.      Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri.

Mengenai siapa-siapa yang dapat memberikan hipotik ialah warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada pada UUPA sendiri.

  VI.         Azas-azas Hipotik

  1. Azas publikasi, yaitu mengharuskan hipotik itu didaftarkan supaya diketahui oleh umum. Hipotik didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian setempat.
  2. Azas spesifikasi, hipotik terletak di atas benda tak bergerak yang ditentukan secara khusus sebagai unit kesatuan, misalnya hipotik diatas sebuah rumah. Tapi tidak aada hipotik di atas sebuah pavileum rumah tersebut, atau atas sebuah kamar dalam rumah tersebut.
Benda tak bergerak yang dapat dibebani sebagai hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan, hak usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak barat, maupun yang berasal dari konvensi hak-hak adaptasi, serta yang telah didapatkan dalam daftar buku tanah menurut ketentaun PP no. 10 tahun 1961 sejak berlakunya UUPA no. 5 tahun 1960 tanggal 24 september 1960.

VII.         Sifat-Sifat Hipotik
Adapun sifat-sifat hipotik yaitu:

  1. Hipotik merupakan perjanjian yang accessoir, artinya bahwa perjanjian hipotik itu merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam mengganti (kredit), sehingga perjanjian hipotik itu tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok tersebut.
  2. Hipotik ini tidak dapat dibagi-bagi, artinya bahwa hipotik itu akan selalu melekat sebagai jaminan sampai hutang yang bersangkutan seluruhnya dilunasi oleh debitur.
  3. Hipotik bersifat zaaksgevolg (droit de suitei), artinya bahwa hak hipotik akan selalu melekat pada benda yang dijaminkan dimanapun atau pada siapapun benda tersebut brada.
  4. Hipotik mempunyai sifat lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya.

VIII.         Cara Mengadakan Hipotik
Ditinjau dari ketentuan-ketentuan hukum Perdata Barat yang berlaku sebelum diundangkanya UUPA (UU No.5 tahun 1960, L.N. 1960 No.104), maka cara terjadinya hipotik dapat kita perinci menjadi tiga fase/tahap:

Fase pertama : hipotik seperti halnya gadai bersifata accessoir, ini berarti hipotik diadakan sebagai tambahan belaka dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian minjam meminjam uang. Karena itu untuk adanya perjanjian hipotik itu harus pertama-tama harus lebih dahulu ada persetujuan pokok yaitu misalnya persetujuan utang piutang.

Fase kedua : persetujuan utang piutang tersebut kemudian disusul dengan persetuan hipotik, dimana pihak yang berhutang (atau pihak ketiga yang mau menanggung utang tersebut) berjanji untuk memberikan hipotik kepada siber[iutang sebagai jaminan bagi pembayaran kembali utang tersebut. Berlainan dengan persetujuan pokok yang bersifat obligatoir, persetujuan hipotik bersifat kebendaan.

System KUH Perdata mengadakan perbedaan yang nyata mengenai cara mengadakan persetujuan obligatoir dengan cara mengadakan persetujuan kebendaan. Persetujuan obligatoir ini diatur dalam buku ke-3 KUH Perdata, dimana dalam pasal 1338 KUH Perdata ditentukan, bahwa segala persetujuan bagaimanapun juga cara diadakannya, sudah bersifata mengikat kudua belah pihak, asal saja terbentuk menurut syarat-syarat yang ditentukan Undag-undang, yaitu yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata.

Jadi mengenai bentuknya, persetujuan obligatoir bersifata bentuk bebas. Ini dapat disimpulkan dari bunyi kata-kata pasal 1338 KUH Perdata : “ suatu persetujuan bagaimanapun juga caranya diadakan..”

Lain halnya dengan persetujuan kebendaan yang diatur dalam buku ke-2 KUH Perdata di mana ditentukan cara-cara tertentu untuk membuat persetujuan-persetujuan kebendaan tersebut, yaitu dengan membuat suatu akte yang di buat di hadapan seorang pejabat tertentu. Demikkian pula halnya dengan persetujuan hipotik, hal yang mana mula-mula di atur oleh pasal 1171 : 1 dan 1172 KUH Perdata, di mana ditentukan bahwa perjanjian hipotik harus di buat suatu akte otentik, antara lain dengan akte notaries karena akte notaris adalah seorang pejabat yang diwajibkan untuk membuat akte otentik. Tetapi kedua pasal tersebut tidak berlaku lagi menurut pasal 31 Peraturan Peralihan Perundang-undangan tahun 1848, yang menentukan satu sama lain harus dilakukan secara membuat akte kehakiman menurut pasal 1 dari Stb. 1834 : 27, akte mana menurut S. 1947 : 53 harus dibut di muka Kepala Kantor Pendaftara Tanah.

Sedangkan menurut peraturan yang berlaku sekarang mengenai pembuatan akte hipotik, yakni pasal 19 P.P. 10/1961 ditetapkan bahwa akte hipotik/akte perjanjian pemberian hipotik harus dibuta oleh dan dihadapan pejabat yang dituju lebih dahulu, Menteri Agraria, sekarang Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria (Sekarang Badan Pertanahan Nasional), karena sejak 3 November  1966 jabatan Menteri Agraria telah ditiadakan dan wewenangnya sekarang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Agraria yang bernaung dibawah lingkungan Departemen Dalam Negeri (Keputusan Presidium Kabinet No. 75/U/Kep/11/1966 Tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen-Departemen). Dengan dibuatnya akte hipotik tersebut, maka fase kedua ini selesai. Tetapi dengan selesainya fase kedua ini, yaitu pembuatan akte hipotik, belum timbul hak hipotik, melainkan masih harus dilanjutkan dengan fase k tiga.

Fase ketiga : Dulu. Akte hipotek harus didaftarkan kepada “Pegawai Pengurusan Balik Nama” atau lazim juga disebut “Pegawai Penyimpanan Hipotek” yang wilayahnya meliputi tempat dimana persil atau rumah yang dihipotekkan terletak.

Menurut ketentuan yang berlaku sekarang, yaitu pasal 2 Peraturan Menteri Agraria No. 15/1961 TLN. 1961 No. 2347 ditetapkan, bahwa : hipotek agar sah harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah yang wilayahnya meliputi letak tanah atau rumah yang dibebani hipotek. Jadi, yang berfungsi sebagai penyimpan hipotek sekarang adalah kepala Kantor Pendaftaran Tanah.

Pendaftaran ini perlu, mengingat sifat “droit desuite” dari hak hipotek tersebut, sehingga perlu diberitahukan kepada umum mengenai terjadinya, beralihnya dan hapusnya hak hipotek tersebut, yaitu dengan jalan pendaftaran dalam register umum tersebut.

Setelah pendaftaran ini selesai dilakukan, barulah hak hipotek itu timbul sebagai hak kebendaan yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang-orang pihak ketiga.

  IX.         Asas-Asas Hipotik
Dalam buku Hukum Perdata: Hak Jaminan Atas Tanah karangan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menjelaskan mengenai asas-asas hukum yang penting dibuat dalam hipotik ialah:

  1. Asas Publiciteit, asas yang mengharuskan bahwa hipotik itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga/ umum. Mendaftarkannya ialah ke Seksi Pendaftaran Tanah. Yang didaftarkan ialah akte dari Hipotik itu.
  2. Asas Specialiteit, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Benda-benda tak bergerak yang mana terikat sebagai tanggungan. Misalnya: Benda-benda yang dihipotikkan itu berwujud apa, di mana letaknya, berapa luasnya/besarnya, perbatasannya.
  3. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid), ini berarti bahwa hipotik itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotikkan dalam keseluruhannya atas setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda bergerak. Dengan dibayarnya sebagian dari hutang tidak mengurangi/meniadakan sebagai dari benda yang menjadi tanggungan.

    X.         Isi Akte Hipotik
Isi daripada akte hipotik itu pada umumnya dibagi menjadi 2 bagian:

  1. Isi yang bersifat wajib, yaitu berisi hal-hal yang wajib dimuat, misalnya tanah itu harus disebutkan tentang letak tanah yang bersangkutan, luasnya jenis dari tanah tersebut (sawah, tegalan, pekarangan dan sebagainya), status tanah, subur atau tidaknya,  daerah banjir atau bukan dan sebagainya. Kalau misalnya mengenai bangunan, maka harus disebutkan tentang letak bangunan, ukuran bangunan, model/jenis bangunan, konstruksi bangunan serta keadaan/kondisi bangunan (Pasal 1174 KUH Predate).
  2. Isi yang bersifat fakultatif, yaitu tentang hal-hal yangboleh dimuat atau tidak dimuat di dalam akte tersebut. Dan ini biasanya berupa janji-janji/bendingan antara pemegang dan pemberi hipotik, seperti janji untuk menjual benda atas kekuasaan sendiri, janji tentang sewa, janji tentang asuransi dan sebagainya. Namun meskipun janji-janji/bendingan tersebut merupakan isi akte hipotik yang bersifat fakultatif, pada umunya selalu dicantumkan pada akte hipotik tersebt. Hal ini dilakukan dengan maksud agar bila dikemudian hari timbul hal-hal yang tidak diharapkan sudah jelas pembuktiannya.

  XI.         Janji - Janji (Bedingen) dalam Hipotik
Di dalam perjanjian Hipotik lazim diadakan janji-janji yang bermaksud melindungi kepentingan Creditur supaya tidak dirugikan. Janji-janji demikian harus tegas-tegas dicantumkan dalam akte Hipotik, yaitu:
1.      Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri, pasal 1178 KUH Perdata.
2.      Janji tentang sewa, pasal 1185 KUH Perdata.
3.      Janji untuk tidak dibersihkan, pasal 1210 KUH Perdata.
4.      Janji tentang Asuransi, pasal 297 KUHD.

Namun demikian para pihak tidak boleh mengadakan janji untuk memiliki bendanya manakala debitur wanprestasi yaitu disebut vervalbeding. Beding demikian adalah dilarang (pasal 1178 ayat 1 KUH Perdata). Larangan adanya janji yang demikian itu adalah untuk melindungi debitur agar dalam kedudukannya yang lemah itu karena membutuhkan kredit terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat yang sangat merugikan baginya. Juga larangan demikian itu mencegah turunnya harga/nilai dari benda yang dibebani hipotik itu kurang dari nilai yang sesungguhnya sehingga berakibat tidak seluruh piutang-piutang kreditur dapat dibayar dari hasil penjualan benda tersebut. Larangan adanya janji yang demikian itu juga kita jumpai pada Credietverband yaitu diatur dalam pasal 12 dari Peraturan mengenai Credietverband yang menentukan semua janji-janji dimana kreditur dikuasakan untuk memiliki benda yang menjadi jaminan adalah båtål.

1.      Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
Pemegang hipotik yang pertama diberi kemungkinan untuk minta ditetapkan suatu jani bahwa pemegang hipotik diberi kekuasaan yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjual benda yang dihipotikkan atas kekuasaan sendiri tanpa perantaraan Pengadilan, manakala debitur tidak memenuhi kewajiban. Dengan syarat bahwa penjualan benda itu setelah dikurangi dengan piutangnya dikembalikan kepada debitur.

Dalam ilmu pegetahuan pernah ada persoalan dan selisih pendapat antara pengarang yaitu mengenai soal apakah pada pelaksanaan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu disitu ada perwakilan atau tidak. Artinya bertindaknya kreditur untuk menjula benda-benda yang dihipotikkan itu mewakili debitur atau melaksanakan haknya sendiri

Penjualan yang dilakukan oleh pemegang hipotik yang pertama yang melaksanakan ketentuan pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata itu bertindaknya sebagai kuasa dari eigenaar atau menjual atas haknya sendiri? Pendapat pertama disebut mandaatstheorie, pendapat kedua disebut leer der vereenvoudigde executie.

Ditekankan disini pada kata “vereenvoudigde” sebab disini tidak merupakan executie yang sesungguhnya melainkan pelaksanaan/singkat. Para pengarang pada umumnya mengikuti executie therie, sedangkan HR dalam rentetan Arrest-arrestnya mengikuti mandaats theorie.

Menurut Scholten dikatakan bahwa pelaksanaan janji yang demikian itu tidak ada perwakilan. Sebab menurut Scholten ukurannya untuk adanya perwakilan harus ada kepentingan antara si wakil dan yang diwakili. Pada penjualan itu disitu tidak ada kepentingan dari debitur. Kreditur bertindaknya bukan untuk kepentingan debitur melainkan melaksanakan haknya sendiri, bahkan mungkin bertentangan dengan kehendak debitur. Barang siapa melaksanakan haknya sendiri terhadap benda orang lain selalu menjalankan akte notaries seperti menjalankan keputusan hakim.

Menurut Eggens, dan ini juga diikuti oleh Hoge raad dalam arrest-arrestnya berpendapat bahwa pada pelaksanaan janji yang demikian itu, di situ terdapat perwakilan. Kreditur bertindak menjual barang-barang itu mewakili debitur. Yaitu ternyata dari adanya Volmacht/kuasa dan merupakan onherroepelojk volmacht yaitu kuasa yang tak dapat ditarik kembali sebagaimana menurut ketentuan pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata.

Menurut Eggens ukuran untuk adanya perwakilan cukup asal kreditur mempunyai kewenangan untuk menetapkan kedudukan hukum orang lain. Yang menjadi persoalan lagi dalam pelaksanaan “beding van eigen machtige verkoop” ialah bahwa menurut ketentuan Undang-undang groosse akte hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial artinya jika debitur tidak memenuhi kewajibannya, kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang-barang jaminan secara langsung tanpa campur tangan pengadilan namun prakteknya bank minta campur tangan pengadilan. Kenyataanya dalam praktek sering juga terjadi debitur berusaha mengulur-ulur pemenuhan kewajiban dengan jalan/alas an menunggu keputusan pengadilan dan dengan demikian terbuka kemungkinan untuk masih dapat mengulur waktu lagi dengan jalan naik banding.

Mengenai masalah eksekusi dalam hal debitur ini dalam praktek perbankan sering terjadi procedure sebagai berikut: mula-mula ditempuh jalan damai yaitu debitur disuruh menjual sendiri barang-barang jaminan itu dengan pengawasan dari bank kemudian pembayaran harga barang-barang tersebut harus dilakukan di bank. Jika jalan damai demikian sulit ditempuh maka bank menyerahkan persoalan ke Pengadilan atau PUPN.

2.      Janji tentang sewa (huurbeding)
Pemegang hipotik dapat minta ditetapkan suatu janji yang membatasi pemilik tanah (pemberi hipotik) dalam hal menyewakan tanahnya, yaitu harus seizing pemegang hipotik, atau hanya dapat menyewakan selama waktu tertentu, atau menyewakan dengan cara tertentu atau dibatasi dalam hal besarnya pembayaran uang muka, karena semuanya itu akan merugikan kreditur jika benda itu harus dilelang mengingat berlakunya pasal 1576 KUH Perdata, mengenai asas “Koop breekt geen huur”, janji sewa yang demikian itu tidak hanya mengikat para pihak melainkan juga mengikat pihak ketiga, mereka memperoleh hak. Kalau janji yang demikian itu dilanggar oleh pemilik tanah maka pemegang hipotik dapat menuntut pelaksanaan janji tersebut dari si penyewa, yaitu dapat menuntut pembatalan perjanjian sewa-menyewa itu.

Ada persoalan bagaimana jika tanah objek hipotik itu dijual oleh pemegang hipotik untuk melunasi hutang-hutang pemberi hipotik, apakah pembeli tanah itu juga mempunyai hak untuk menegur penyewa apabila dulu pemilik tanah melanggar janji tentang sewa.

Menurut Scholten, sesuai dengan pendiriannya bahwa dalam melaksankan penjualan tanah yang dibebani hipoti di situ bertindaknya pemegang hipotik bukan mewakili pemilik tanah melainkan melaksanakan haknya sendiri, maka haknya pemegang hipotik untuk menegur penyewa itu dianggap beralih kepada pambeli tanah. Jadi pembeli tanah dapat menegur penyewa atau menuntut pembatalan manakala janji itu dilaggar.

Sedangkan menurut Jurisprudensi Hoge Raad di Negeri Belanda pembeli tidak dapat menegur penyewa, oleh karena pemegang hipotik dalam menjual tanah itu bertindak mewakili pemilik tanah maka yang beralih kepada pembeli ialah hak-hak dari pemilik tanah, tidak termasuk hak untuk menegur penyewa karena hak untuk menegur penyewa itu adalah hak dari pemegang hipotik.

Lain halnya dengan janji untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, janji tentang sewa ini dapat dibuat oleh pemegang hipotik yang pertama, kedua dan seterusnya. Justru ini penting bagi pemenang hipotik yang terakhir yang biasanya lebih dapat dirugikan daripada pemegang hipotik yang pertama karena adanya perjanjian-perjanjian sewa yang merugikan.

3.      Janji untuk tidak dibersihkan
Pemegang hipotik pertama dapat minta diperjanjikan agar hipotiknya tidak dibersihkan/dihilangkan dalam hal terjadi penjualan tanahnya oleh pemilik. Pasal 1210 ayat 1 KUH Perdata menentukan bahwa apabila tanah yang dibebani hipotik itu dijual baik oleh pemegang hipotik untuk memenuhi piutangnya maupun oleh pemilik tanah sendiri maka si pembeli dapat minta agar dari beban yang melebihi harga pembelian hipotik damikian itu dibersihkan. Hal demikian itu akan merugikan si pemegang hipotik karena untuk sisa piutangnya lalu sudah tidak dijamin dengan hipotik lagi dilaksanakannya pembersihan itu dengan mencatumkan janji demikian tadi di dalam akte hipotik.

Namun janji yang demikian hanya dapat diadakan terhadap penjualan oleh pemilik tanah sendiri bukan penjualan tanah oleh pemegang hipotik guna melaksanakan haknya atau atas perintah pengadilan.

4.      Janji tentang asuransi
Janji yang senantiasa juga dicantumkan dalam akte ialah janji tentang asuransi. Yaitu perjanjian bahwa terhadap benda objek hipotik yang diasuransikan jika kemudian tertimpa kebakaran, banjir, dan sebagainya, maka uang asuransi harus diperhitungkan untuk pembayaran piutang pemegang hipotik. Janji yang demikian itu harus diberitahukan kepada perusahaan asuransi supaya perseroan asuransi terikat oleh adanya janji yang demikian yang dibuat oleh pemberi hipotik dan pemegang hipotik.

Di samping cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang hapusnya hipotik dimungkinkan juga terjadi karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan, berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Oktober 1970 No. BA 10/241/10. Dengan hapusnya hipotik karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan yang hapus hanya perjanjian hipotiknya tidak menghapuskan perutangan yang pock.

Karenanya bank harus hati-hati dan seksama dalam menghadapi kemungkinan tersebut di atas, dengan mencantumkan janji-janji tertentu di dalam akte pembebanannya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kerugian bagi kreditur di samping adanya sifat pemberian perlindungan/pelipur dari penguasa.

Kemungkinan janji-janji khusus tersebut adalah sebagai berikut:
  • Jika tanah hapus karena pencabutan hak maka diperjanjikan bahwa pengganti kerugian yang diberikan kepada debitur akan dipergunakan untuk pelunasan hutangnya debitur.
  • Jika tanah hapus karena pembatalan dan kembali dalam kekuasaan Negara, maka hendaknya pemerintah memberikan hak kepada kreditur untuk melanjutkan hak tersebut dan mempunyai wenang untuk menjual hak tersebut.
  • Jika tanah hapus karena habisnya waktu yang diberikan selayaknya bank memperhitungkan dengan seksama jangka waktu pemberian hak tersebut.
Untuk keseragaman permohonan Roya yang diajukan oleh bank hendaknya dicantumkan dalam blangko tertentu yang dibuat oleh Ditjen Agraria. Demikian juga mengenai pelaksanaan roya hendaknya ada keseragaman.

XII.         Prosedur Pengadaan Hak Hipotik
Syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika akan mengadakan hipotik adalah: 1) Harus ada perjanjian hutang piutang, 2) Harus ada benda tak bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan hutang.

Setelah syarat di atas dipenuhi, kemudian dibuat perjanjian hipotik secara tertulis dihadapan para pejabat pembuat akta tanah atau disingkat PPAT (pasal 19 PP no. 10 tahun 1961), yang dihadiri oleh kresitur, debitur dan dua orang saksi yang mana salah satu saksi tersebut biasanya adalah kepala desa atau kelurahan setempat di mana tanah itu terletak. Kemudian akta hipotik itu didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian yang bersangkutan.

XIII.         Hapusnya Hipotik
Di samping menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, hapusnya Hipotik karena hapusya hak atas tanah yang bersangkutan berdasar Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Oktober 1970 no. BA 10/241/10 dimungkinkan. Dengan hapusnya hipotik karena hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan yang hapus hanya perjanjian hipotiknya, tidak menghapuskan perutangan yang pock.

Menurut pasal 1209 ada tiga cara hapusnya hipotik, yaitu:
1.      Karena hapusnya ikatan pokok
2.      Karena pelepasan hipotik oleh si berpiutang atau kreditur
3.      Karena penetapan oleh hakim

Adapun hapusnya hipotik di luar ketentuan KUH Perdata yaitu:
1.      Hapusnya hutang yang dijamin oleh hipotik
2.      Afstan hipotik
3.      Lenyapnya benda hipotik
4.      Pencampuran kedudukan pemegang dan pemberi hipotik
5.      Pencoretan, karena pembersihan atau kepailitan
6.      Pencabutan hak milik




UNIVERSITAS NASIONAL
Mega Regina - 133112330050041

You Might Also Like

0 comments